PAGEU IMAN DI SEKOLAH

thumbnail
(Oleh Tgk. Taufik Yacob, S.Pd.I)
            Pelajaran paling utama dalam Islam adalah pelajaran aqidah iman. Hal ini dapat kita lihat dari sejarah awal penyiaran Islam. Da’wah Rasulullah. Saw  selama dua puluh tiga tahun terbagi dalam dua fase yaitu priode Mekkah dan priode Madinah. Selama tiga belas tahun Rasulullah mengajak penduduk Mekkah untuk menganut agama Islam, pelajaran yang selalu biberikan kepada penduduk Mekkah di awal penyiaran Islam adalah pelajaran aqidah iman. Ayat-ayat al-Quran priode Mekkah (ayat-ayat Makkiyah) juga lebih banyak mengupas masalah aqidah dan ajakan untuk beriman kepada Allah yang maha esa.
Ketika pertama kali Rasulullah. Saw mengumpulkan penduduk Mekkah untuk melaksanakan misi kerasulannya, aqidah imanlah yang beliau tawarkan kepada kaumnya. “Sesudah itu Muhammad kemudian mengalihkan seruannya dari keluarga-keluarganya yang dekat kepada seluruh penduduk Mekah. Suatu hari ia naik ke Shafa2 dengan berseru: "Hai masyarakat Quraisy." Tetapi orang Quraisy itu lalu membalas: "Muhammad bicara dari atas Shafa." Mereka lalu datang berduyun-duyun sambil bertanya-tanya, "Ada apa?" "Bagaimana pendapatmu sekalian kalau kuberitahukan kamu, bahwa pada permukaan bukit ini ada pasukan berkuda. Percayakah kamu?"  "Ya," jawab mereka. "Engkau tidak pernah disangsikan. Belum pernah kami melihat engkau berdusta." "Aku mengingatkan kamu sekalian, sebelum menghadapi siksa yang sungguh berat," katanya, "Banu Abd'l-Muttalib, Banu Abd Manaf, Banu Zuhra, Banu Taim, Banu Makhzum dan Banu Asad Allah memerintahkan aku memberi peringatan kepada keluarga-keluargaku terdekat. Baik untuk kehidupan dunia atau akhirat. Tak ada sesuatu bahagian atau keuntungan yang dapat kuberikan kepada kamu, selain kamu ucapkan: Tak ada tuhan selain Allah." (Muhammad Husain Haekal: Sejarah Hidup Muhammad).
            Belajar dari metode dakwah Rasulullah., terlihatlah dengan jelas korelasi antara pendidikan Islami dengan keteguhan aqidah, sekaligus terkuaklah tabir bahwa pageu (pertahanan) iman masyarakat kita sangat gampang diobok-obok oleh berbagai aliran sesat disebabkan system pendidikan kita yang jauh dari ruh agama. Selama ini pelajaran yang selalu diprioritaskan di sekolah-sekolah adalah ilmu umum yang sama sekali tidak dibumbui dengan nilai-nilai keimanan. Pelajaran agama diaggap sebagai pelajaran skunder yang tidak terlalu penting.
            Akibat dari termarginalnya pendidikan agama di sekolah, lahirlah generasi yang pintar tapi tidak bermoral, cerdas tapi tidak amanah. Produk pendidikan kita hari ini adalah manusia yang menguasai ilmu pengetahuan namun jiwa mereka gersang dari nilai-nilai spiritual, otak mereka brilian namun qalbu mereka kosong dari nilai-nilai keimanan. Sekarang generasi produk pendidikan yang salah asuh ini telah menebarkan racun berbisa yang merusak tatanan Negara dan merugikan masyarakat dengan budaya korupsi  yang kian akut. Dan yang paling berbahaya sekarang mereka menjadi lahan subur bagi penyebaran aliran sesat bahkan sebagian dari mereka menjadi agen dalam mempelopori riddah di serambi Mekkah, karena mereka tidak memiliki filter untuk menyaring faham-faham yang melenceng dari aqidah ahlu sunnah wal jama’ah.
Untuk menyelamatkan aqidah umat dari ancaman aliran sesat yang sekarang sedang mewabah perlu Pageu yang kokoh membaja dalam jiwa mereka dengan menanamkan nilai agama dalam qalbu generasi muda dari sejak dini dan kontinyu. Nilai-nilai keimanan yang disemai sejak usia dini dan dilakukan terus menerus akan membentuk jiwa yang luhur dan iman yang kokoh hingga mereka menjadi pribadi yang memiliki iman yang sempurna dan menjadi muslim sejati yang tidak mudah terombang ambing oleh gerakan pemurtadan.
            Ada dua jalan yang bisa ditempuh untuk merealisasikan pendidikan agama dari usia dini dan kontinyu kepada generasi kita. Pertama dengan menambah jam pelajaran agama di sekolah-sekolah seperti yang disampaikan oleh Wagub di depan 37 pimpinan Instansi pada rapat khusus lanjutan selasa (5/4) (Serambi Indonesia: 6/4/2011). Tapi kalau hanya menambah satu jam pelajaran agama per minggu takkan memberikan perubahan segnifikan dari keadaan yang terjadi sekarang ini.
            Sekolah-sekolah mesti berbasis agama, sehingga aqidah dan moral menjadi target utama dari pendidikan di sekolah. Semua pelajaran yang diajarkan di sekolah mesti berlatarkan agama, agar ruh agama tidak terlepas dari jiwa siswa ketika mengikuti pelajaran apa saja. Biologi, fisika, matematika dan pelajaran lainnya mesti menjadi bukti akan kebenaran agama dan menjadi dalil ilmiayah untuk menguatkan aqidah.
Kedua, mengwajibkan semua siswa untuk belajar di dayah-dayah tradisional sesuai dengan tingkatannya masing-maisng. Ini bisa dilakukan dengan menambah syarat masuk sekolah dengan ijazah dayah sesuai dengan tingkatan sekolah. Untuk masuk SLTP setiap siswa mesti memiliki sertifikat mampu membaca al-Qur’an, hafal dasar aqidah yaitu I’tikad lima puluh dan pokok-pokok agama lainnya. Untuk masuk SLTA setiap siswa mesti memiliki ijazah Tsanawiyah dayah. Untuk masuk perguruan tinggi diwajibkan memiliki ijazah Aliyah dayah. Dan setiap mahasiswa/i mesti mondok di dayah. Andai semua mahasisa/i mondok di dayah sungguh banyak manfaat ganda yang bisa kita dapatkan. Salah satunya adalah menjadi Pageu bagi mereka dari kerusakan moral akibat pengaruh pergaulan bebas.
Semoga pemerintah kita dan mereka yang memiliki otoritas membuat kebijakan dalam pendidikan terketuk hantinya untuk membumikan pendidika Islami di tanah rencong, sehingga pageu iman masyarakat kita semakin kokoh dan tidak mampu ditembusi oleh berbagai aliran sesat.

(Penulis  adalah Ketua Umum Dayah Babussalam Matangkuli, Pengurus IPSA)

MENGAJAK HAM MASUK ISLAM

thumbnail

Oleh Tgk. Taufik Yacob, S.Pd.I
            Secara harfiyah, Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Menurut kamus online wekipedia bahasa Indonesia “Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan.”
            Pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot Paris, mendeklerasikan piagam hak asasi manusia (human right). Mulai sa’at itu hak asasi manusia (HAM) menjadi undang-undang Internasional dan penggunaan kata HAM  lebih identik dengan makna undang-undang tersebut.
Sebenarnya jauh sebelum PBB mendeklerasikan, rumusan HAM dalam bentuk peraturan-peraturan sudah dicetus oleh berbagai ajaran di seluruh dunia. Misalnya dalam Islam “Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia. Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim)” (Mahfudz Siddiq: www. angelfire.com/id/sidikfound/ham.html).
Melihat HAM sebagai pemberian Tuhan yang dibawa manusia semenjak dalam kandungan, maka Islam tidak mungkin bertentangan dengan HAM karena keduanya sama-sama berasal dari Tuhan. Sementara bila kita melihat HAM Sebagai rumusan peranturan internasional yang di deklerasikan oleh PBB, bukan hal yang mustahil bahwa HAM itu bertentangan dengan ajaran Islam. Di sini kita sampai pada satu kesimpulan bahwa, HAM sudah ada semenjak manusia itu ada, terlepas ia dirumuskan dalam sebuah peraturan atau tidak. HAM Islam dan HAM PBB adalah rumusan peraturan tentang HAM, bukan hakikat HAM itu sendiri.
Melihat kontroversi antara Teuku Muhammad Jafar Sulaiman yang menyimpulkan, Islam tidak bertentangan dengan HAM dalam tulisan beliau yang berjudul Islam Tanpa Mazhab (Aceh Institute, 21 Juni 2010) dan Syahrial Razali yang menyimpulkan HAM bertentangan dengan Islam dalam tulisan beliau dengan judul Arabisasi, Hinduisasi Atau Westernisasi? (Aceh Institute, 29 Juni 2010), timbullah sebuah pertanyaan, apakah yang mereka maksud dengan HAM itu adalah hakikat HAM atau HAM sebagai rumusan peraturan PBB?. Bila yang dimaksud adalah hakikat HAM maka Islam tidak bertentangan dan tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana kata Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar yang dikutip oleh TMJS. Sebaliknya, bila yang dimaksud adalah HAM sebagai rumusan peraturan PBB maka HAM bertentangan dengan Islam sebagaimana kata Prof. Dr. Buya Hamka yang dikutip oleh SR.
            Hidup di Negara yang tidak menganut undang-undang syari’at Islam sebagai asas Negara membuat umat jadi bingung. Kebingungan ini disebabkan masalah-masalah syar’I yang timbul dalam kehidupan mereka tidak bisa diselesaikan secara tuntas menurut aturan Islami. Keadaan semacam ini memaksa umat Islam untuk membuat “tempelan” dari persoalan syar’I yang mereka hadapi. Tempelan-tembelan ini membuat “wajah” Islam terlihat sangat jelek, bagaikan wajah wanita cantik yang dipenuhi jerawat.
Masalah yang tidak diselesaikan secara tuntas “kesembuhannya” temporer bukan permanen. Ibarat orang demam karena bisul. Memberikan obat demam kepada orang ini takkan menyesaikan masalah sebelum bisulnya diobati secara tuntas. Misalnya, “Islam melarang wanita keluar rumah tanpa ditemani oleh mahramnya.” (HR.Bukhari). Di dalam undang-undang Indonesia tidak ada larangan wanita menjadi kepala daerah, malah Indonesia pernah diperintah oleh seorang presiden wanita yaitu ibu Mega Wati Sukarno Purtri. Ketika seorang wanita muslimah menjadi kepala pemerintahan, tidak mungkin setiap keluar rumah ditemani oleh mahramnya, karena ia terikat oleh aturan dinas Negara. Islam melarang para wanita berkumpul dengan lelaki yang bukan mahramnya. Di Indonesia ruang belajar sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi adalah berbaur antara pria dan wanita. Ketika wanita Islam mengamalkan ajaran agamanya dengan tidak keluar rumah tanpa mahram dan tidak berbaur dengan lelaki yang bukan mahramnya tampaklah seolah-olah Islam itu membelenggu hak asasi wanita. Maka solusinya di sini adalah mengajak Indonesia masuk Islam. Memaksakan hukum Islam di Negara yang tidak berundang-undang Islam dapat mecoreng wajah Islam.  Hal ini juga berlaku ketika HAM produksi barat memposisikan diri sebagai undang-undang dunia. Umat Islam juga dipaksa mengikuti aturan gila yang diciptakan mereka, menurut selera mereka. Sehingga sebahagian umat Islam menjadi salah kaprah dalam merespon isu-isu HAM yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Dari sinilah muncul pemikiran nyeleneh yang disebut ide-ide sampah oleh saudara SR dan dianggap sebagai pencerahan oleh  TMJS yang mengklaim diri sebagai pemikir muda. Supaya Islam yang cantik tetap terlihat cantik maka solusinya di sini adalah mengajak HAM (peraturan PBB) masuk Islam.
            HAM sebagai rumusan peraturan PBB adalah produk manusia yang penuh dengan kekurangan, karena dibuat oleh makhluk yang memiliki kemampuan terbatas dan selalu dihiasi oleh nafsu dalam setiap tindakannya. Karena demikian mempertanyakan apakah Islam bertentangan dengan HAM (peraturan PBB) adalah pertanyaan yang terbalik. Pertanyaan ini melahirkan dua kesan buruk bagi Islam. Pertama, seolah-olah Peraturan PBB itu lebih dahulu lahir dari peraturan Islam. karena biasanya yang baru dicocokkan dengan yang lama bukan sebaliknya. Padahal peraturan  PBB itu lahir pada abad ke dua puluh. Sedangkan peraturan Islam telah lahir semenjak abad ke enam. Kedua, seolah-olah peraturan PBB adalah kebenaran mutlak yang qat’I dan tidak dapat diganggu gugat, sementara aturan Islam adalah sebuah teori yang kebenarannya perlu di uji. Karena biasanya maqis ‘alih (tempat perbandingan) adalah qat’I dan maqis (yang dibandingkan) adalah hukum baru yang harus disuaikan dengan maqis alaih. Seharusnya pertanyaannya adalah apakah HAM (peraturan PBB) bertentangan dengan Islam?.
            Pertanyaan terbalik ini telah memberi ruang kepada barat selaku perumus aturan HAM (peraturan PBB) untuk mengkritisi hukum-hukum Islam malah mengkritik al-Quran dan Hadis sebagai sumber  hukum Islam. Mereka terus berupaya agar hukum Islam tunduk kepada aturan mereka dengan memanipulasi nash-nash syar’I. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut nafsu mereka. Tujuan mereka adalah mengajak Islam masuk HAM. Upaya-upaya mereka ini di amini oleh sarjana-sarjana Islam lulusan barat yang memang telah mereka didik untuk mendewakan barat dan otak mereka telah di“cuci” dengan doktrin barat.
            Akhirnya, mari kita menyadari sebenarnya HAM yang diatur dalam Islam itu jauh lebih agung dari HAM barat yang mereka dewa-dewakan itu. Mari kita mengembangkan ide HAM (peraturan PBB) yang konstektual, karena ia adalah hukum produk manusia yang sifatnya kondisional bukan universal. Buanglah jauh-jauh ide Islam local, Islam konstektul dan sejenisnya, karena Islam yang universal terlalu agung untuk diotak-atik oleh pikiran kita yang sangat terbatas. Mari kita berupaya untuk mengajak HAM (peraturan PBB) masuk Islam dengan cara menyesuaikanya dengan Islam.
Wallahu A’lam Bis shawab.(Penulis  adalah Ketua Umum Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara, Dosen PTI. Jami’atu Tarbiyah Lhoksukon, Pengurus IPSA Aceh)

SYARI’AT SOLUTIF

thumbnail

Oleh Tgk. Taufik Yacob, S.Pd.I
            Islam diturunkan sebagai rahmat bagi sekalian alam[i]. Semua perintah dalam Islam adalah kebutuhan fitrah manusia. Semua larangan dalam Islam berbahaya bagi manusia. Karena itu qaidah pokok dalam Islam adalah “Dar u al-Mafasid wa jalbu al-Masalih”[ii] (menghindari kerusakan dan mencari kemaslahatan). Qaidah fiqhiyah ini bersumber dari hadits “tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain”. Kalau demikian rasanya tidak mungkin ada manusia yang menolak syari’at Islam, apalagi oleh masyarakat muslim. Tapi nyatanya syari’at Islam kelihatan begitu menakutkan bagi sebagian umat. Bahkan di Nanggroe Aceh Darussalam sendiri yang masyarakatnya seratus persen beragama Islam, syari’at itu bak kebun tak bertuan. Penolakan ini disebabkan Syari’at yang disodorkan kepada mereka bukan solusi tapi sangsi, sehingga Islam menjadi beban, bukan penawar.
            Ketika Rasulullah. Saw mengutus Mus’ab bin Umair ke Madinah untuk menyampaikan Islam, penduduk Yasrib berbondong-bondong masuk Islam karena Islam adalah solusi bagi masalah yang mereka hadapi. Sebelum Islam datang, penduduk Yasrib dilanda permusuhan hebat antara dua qabilah Aus dan Khazraj. Aus dan khazraj Adalah dua qabilah Arab yang hidup di Yasrib. Pada awalnya mereka bersatu memerangi orang-orang Yahudi yang lebih dahulu menjadi tuan di Yasrib. Setelah orang-orang Yahudi dikalahkan mereka berkuasa di Yasrib. Orang-orang Yahudi menyimpan demdam kepada qabilah Aus dan Khazraj. Menyadari bahwa mereka tak mampu mengalahkan orang Aus dan Khazraj dengan pertempuran, orang Yahudi menggunakan politik pecah belah. Usaha orang-orang Yahudi ini berhasil, sehingga di antara qabilah Aus dan Khazraj terjadi permusuhan yang hebat[iii]. Sangat banyak korban sia-sia tanpa dosa bergelimpangan di  antara mereka. Sudah banyak cara yang mereka tempuh untuk meredam permusuhan ini, tapi selalu gagal di tengah jalan, sehingga datanglah Islam mengajarkan “Islam bagaikan tubuh yang satu” (Hadits). Penduduk Yasrib menerima Islam dengan suka rela karena Islam merupakan solusi untuk masalah yang  mereka hadapi. Keteika Islam merambah ke Mesir pada masa kalifah Umar bin Khattab dengan mudah pasukan Islam di bawah pimpinan Amru bin Ash merebut satu persatu benteng-benteng petahanan Romawi di sana. Penduduk mesir dengan suka rela masuk Islam dan membantu pembebasan Mesir dari cengkraman penjajahan Romawi. Rakyat Mesir menyambut Islam dengan senang hati karena Islam yang mengajarkan “sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling kuat taqwanya”[iv] adalah solusi bagi mereka untuk keluar dari perjajahan dan perbudakan Romawi.
            Belajar dari sejarah masa lalu itu kaum “intelek (ulama) seluku pewaris para nabi” harus mampu memberikan solusi syari’at agar masyarakat menerima Islam dengan lapang dada dan tangan terbuka. Para Intelaktual Islam wajib memberikan solusi syari’at kepada umat, karena warasatu (pewaris) yang dimaksud dalam hadits adalah penanggung jawab penyebaran agama sebagaimana para ambiya’ adalah penanggung jawab dalam penegakan agama. Memaksakan umat untuk meninggalkan maksiat takkan berhasil bila mereka tidak diberikan solusi agar kebutuhan mereka terpenuhi. Jangankan manusia yang punya nafsu dan akal pikiran, air saja akan berontak kalau terus di bendung tidak diberikan jalan keluar (dialirkan ke jalur lain). Coba kita membuat bendungan tanpa memberi jalur alternative untuk air mengalir, sedikit demi sedikit air akan terus mengikisnya dan akhirnya bendungan itu akan jebol. Lain halnya kalau kita membuat bendungan lalu aliran air kita alihkan ke jalur lain, air itu pasti akan menurut dengan patuh.
Misalnya dalam masalah bunga Bank yang haram menurut syari’at Islam karena Bank itu menjalankan praktek riba. Selama ini kaum intelek kita hanya mampu meberi fatwa haram untuk bunga Bank tapi tak mampu meberikan jalan keluar bagai mana cara agar masyarakat bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada Bank. Tindakan kaum intelek ini kadang menjebak mereka sendiri karena mereka tak mungkin melepaskan diri dengan perbankkan dalam beberapa kasus, seperti ONH dan lain-lain. Ketika umat bertanya bagaimana hukumnya menyimpan uang pada Bank konvensional jawabannya adalah haram. Jawaban ini sangat tepat. Kemudian umat bertanya di mana juga kita simpan biar tidak haram?. Jawabannya pasoe lam plouk trieng (simpan dalam tabung bambu). Bagaimana mungkin uang miliyaran rupiah di pasoe lam plouk trieng?. Agar masyarakat meninggalkan praktek haram pada perbankkan konvensional maka kaum intelek Islam harus mampu menciptakan sebuah lebaga keuangan yang diakui  dunia internasional, memiliki jaminan keamanan dan keuntungan seperti Bank konvensional. Andai kaum intelek kita mampu memberikan solusi ini, tentu dengan sangat mudah mangajak masyarakat untuk tidak menyimpan uang di Bank yang haram tapi beralih ke Bank syari’ah yang halal dengan jaminan keamanan, kemudahan transaksi, dan keuntungan yang tidak berbeda dengan Bank konvensional. Demikian pula dalam hal yang lain andai kaum intelek kita mapu memberikan jalan keluar yang syar’I dari setiap masalah yang di hadapi umat, pasti masyarakat Islam akan menerima dengan lapang dada bahkan sangat merindukan pemberlakuan syari’at Islam. Syari’at semacam inilah yang ada dalam benak masyarakat Aceh sebelum diberlakukan syari’at Islam di Aceh sehingga mereka mendukung mati-matian pemberlakuan syaria’at Islam secara kaffah (komprehensif). Setelah Syari’at Islam diberlakukan ternyata syari’at yang dijalankan bukan solusi untuk masalah yang mereka hadapi tapi bencana terhadap ekonomi dan kebebasan mereka. Salahkah masyarakat yang menolak syari’at?. Atau syari’at memang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat?. Menurut penulis kaum inteleleklah yang bersalah karena tak mampu menyodorkan Syari’at Solutif kepada masyarakat.
Kaum intelek adalah orang-orang mulia yang dimuliakan dalam agama sehingga mereka dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat. Kemulian itu bukanlah hadiah Cuma-Cuma melainkan konsekwensi dari intelektualitas yang mereka miliki. Sebagai intelektual mereka memikul tanggung jawab untuk mengaplikasikan intelektualitas mereka dalam kehidupan nyata. Karena demikian, kata ulama yang terdapat dalam nash untuk memuji dan memuliakan para ulama selalu dima’rifahkan dengan alif dan lam (ال) sehingga bermakna ulama yang mengamalkan ilmunya. Ulama yang tidak mengapliksikan ilmunya dalam tindakan nyata justru sangat dikecam dalam Islam.
Semoga para intelek kita kedepan mampu memberikan solusi syar’iayah terhadap semua masalah yang dihadapi masyarakat sehingga impian kita untuk pemberlakuan syari’at Islam secara kaffah di tanah serambi makah terwujud menjadi kenyataan dan kerinduan kita akan Baldatun Taibatun Wa Rabbul Ngafur benar-bnar terlaksana. Amiiin Ya Rabbal Alamin.



[i] QS. al-Ambiya’: 107
[ii] Jalaluddin  As-suyuthi, Asybah wa an-Nadhair
[iii] Muhammad Husain Haekal, Sejarah  hidup Muhammad
[iv] QS. Al-Hujarat : 13

BILA DAYAH DAN SEKOLAH “MENIKAH”

thumbnail

Oleh Tgk. Taufik Yacob, S.Pd.I
Dahulu, sebelum Aceh diobrak-abrik oleh kaum penjajah, pendidikan umum dan pendikan agama merupakan sepasang “suami-istreri” yang hidup dalam sebuah “rumah tangga” yang bernama dayah. Tidak ada sekolah yang hanya mengajari pendidikan umum. Tidak ada pesantren yang hanya mengajarkan masalah ibadah. Tidak ada dikotomi pendidikan ketika itu. Pasturi (pasangan suami isteri) ini hidup rukun dan damai dalam kurun waktu yang relative lama, sehingga datanglah bangsa Eropa dari kerajaan Hindia belanda merusak kehormonisan mereka. Kemesraan pasturi yang bernama dayah ini telah mampu melahirkan banyak anak-anak yang berguna bagi bangsa dan agama, hingga terkenal keseluruh sentaro dunia dan ditakuti oleh kaum penjajah. Diantara tokoh-tokoh yang lahir dari pendidikan dayah adalah sultan Iskandar Muda (sultan paling besar dalam kesultanan Aceh, memerintah 1607-1636 M) dan ratu Safiatuddin (Ratu pertama dalam kesultanan Aceh memerintah 1641-1675 M) dari kalangan negarawan, Syiah Kuala (1615 - 1693 M) dan Abu Krueng Kale dari kalangan ilmuwan (ulama), Tgk. Chik di Tiro (1836 - 1891) dan Tgk. Abdul Jalil dari kalangan pahlawan (pejuang) dan Syeh Hamzah Fansuri dari kalangan satrawan (seniman). Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan baik. Output dayah bukan hanya ulama saja tapi juga politikus maupun negarawan yang berpengaruh. Ini semua dikarenakan bahwa pendidikan dayah pada masa tersebut tidak dychotomous (Yakub, 1980).
Dikotomi pendidikan dimulai semenjak Aceh diterpa konflik dari kaum penjajah yang silih berganti seperti dari Inggris, Portugis, Belanda, Jepang, perang Cumbok dan sebagainya (Muhammmad Nazar, S.Ag: Serambi Indonesia, 31/5/2010). Menurut Eka Sri Mulyani penghancuran pendidikan dayah oleh belanda merupakan taktik jahat Snouck Hurgronje untuk memenangkan perang di Aceh “Untuk strategi memenangkan perang dengan pihak Aceh, Snouck Hurgronje sangat menyadari bahwa materi pendidikan dalam institusi pendidikan Islam seperti dayah menjadi ’amunisi’ tersendiri bagi semangat jihad di Aceh. Maka strategi yang dilakukan untuk memenangkan peperangan dengan Aceh termasuk mengintervensi dan melemahkan institusi pendidikan Islam seperti dayah”. (http://www.lkas.org/).
Dikotomi pendidikan yang dipelopori oleh Belanda telah merusak hubungan baik  antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri di bawah naungan yang berbeda. Pendidikan umum “hidup” di sekolah yang dikelola oleh pemerintah. Pendidikan agama “hidup” di dayah sebagai lembaga swasta. Perpisahan ini telah menyebabkan “kemandulan” sehingga Aceh mengalami krisis sumber daya manusia (SDA). Dayah tanpa sekolah bagaikan lelaki tanpa istri. Sekolah tanpa dayah laksana wanita tak bersuami. Merefleksi kehidupan masyarakat Aceh hari ini akan menyadarkan kita ternyata tokoh-tokoh Aceh paska dikotomi pendidikan merupakan anak di luar “nikah” antara sekolah dan dayah (bukan dalam artian negative). Kebanyakan politikus dan akademisi Aceh adalah lulusan dayah, minimal pernah menuntut ilmu di dayah seperti Prof. Dr. Muhibuddin Waly, Prof. Dr. Muslem Ibrahim dan tokoh-tokoh intelektual lainnya.
Menikahkan dayah dengan sekolah
            Wacana untuk menikahkan dayah dengan sekolah sebenarnya telah dilaksakan oleh instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah untuk mengsetarakan ijazah dayah dengan sekolah dengan berbagai program. Diantra program dari pemerintah pusat adalah wajar dikdas yang selenggarakan di dayah-dayah tradisional di Aceh. Dengan mengikuti program wajar dikdas ini para santri bisa mendapatkan ijazah Ibtidaiyah dan ijazah Tsanawiyah yang diakui oleh pemerintah dan berlaku untuk skala nasional. Sementara pemerintah daerah melasanakan program wajib mampu membaca al-Quran sebagai syarat kelulusan sekolah dasar di Aceh. Untuk mewujudkan rencana ini pemerintah merekrut tengku-teungku dari dayah untuk menjadi honorer di sekolah dasar yang kusus mengajarkan bacaan al-Quran kepada murid-murid sekolah dasar. Pemda Aceh Utara memasukkan pelajaran Imtaq (iman dan taqwa) sebagai muatan local yang wajib dilaksanakan oleh seluruh SMU dalam kabupaten Aceh Utara. Program Imtaq ini diasuh oleh guru-guru yang kusus direkrut dari dayah-dayah di sekitar sekolah dengan honor yang lumayan besar bila dibandingkan dengan honorer lainnya.

Program pemerintah itu merupakan upaya yang mulia, menunjukkan niat baik pemerintah memperbaiki pendidikan  anak bangsa. Namun upaya-upaya itu tampaknya berat sebelah dan akan berakhir pada “pembunuhan” dayah oleh sekolah. Pemerintah hanya melihat kekurangan yang ada di dayah dan menutup mata terhadap kekurangan yang ada disekolah. Padahal seratus persen moral dan agama orang Aceh dibekali dari dayah. Coba kita bayangkan seandainya tidak ada dayah/balai pengajian yang mengajarkan anak-anak baca al-quran dan hukum-hukum Islam. Adakah sekolah yang hanya menjadikan pelajaran agama sebagai pelajaran skunder mampu membina moral dan keimanan siswanya?. Perhatikanlah, banyak para calon maha siswa di Aceh yang tak lulus masuk ke perguruan tinggi karena tak mampu membaca al-quran. Hal ini disampaikan oleh panitia seleksi calon mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe “Banyak calon mahasiswa yang sama sekali tidak mampu membaca al-Quran. Dan Ada juga calon mahasiswa ketika disuruh membaca, terus terang mengatakan bahwa ia tidak mampu. Bahkan tidak mengenal huruf Hijaiyah sama sekali” (www.jpnn.com), mereka adalah lulusan SMA yang tak pernah belajar di dayah. Lihatlah maha siswa yang hanya berlatar belakang pendidikan umum (sekolah), penguasaan ilmu agamanya sangat menyedihkan sebagaimana disampaikan M.Yusran Hadi, Lc,MA salah seorang dosen IAIN Ar-Raniry “saya sebagai dosen di perguruan tinggi IAIN Ar-Raniry, dapat mengamati ketika menemukan banyak mahasiswa yang belum bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar” (Serambi Indonesia: Opini, 22/05/2009). Bahkan seorang sarjana agama kadang kemampuan baca al-Qurannya sangat pas-pasan. Pada pemilu legeslatif DPRA 2009, sebanyak 222 caleg tersingkir dan sebagiajn memilih mundur karena tahu diri tak bisa mengaji” (Serambi Indonesia, 19/9/2008).

            Sementara di dayah banyak teungku-tengku yang mahir membaca kitab kuning dan menguasai berbagi cabang ilmu syari’ah secara mendalam, namun sayang umumnya mereka buta tentang ilmu adminintrasi, gagap teknologi (gaptek) dan kurang menguasai tentang kenegaraan sehingga ilmu mereka kurang bermanfaat dalam pembuatan qanun. Sebenarnya di Aceh banyak ulama-ulama dayah yang menguasai hokum Islam, tapi “qanun syari’at kita mandek karena kita kekurangan pakar yang bisa dilibatkan dalam pembuatan qanun” (Prof Dr Alyasa’ Abubakar: Konfrensi syari’at Islam, Lhokseumawe, 2008).  

            Bila saja para sarjana kita menguasai ilmu agama seperti ulama-ulama dayah dan ulama dayah mengusai ilmu umum seperti para sarjana, sungguh Aceh ini benar-benar menjadi Darussalam seperti dulu ketika ia bernama Nanggroe Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Hal ini akan terjadi seandainya kita memiliki lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum yang seimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Jangan ada lagi dikotomi pendidikan. Dayah dan sekolah dilebur menjadi lembaga pendidikan negeri dengan tidak membuang esensi pendidikan dari keduanya. Untuk tahap awal kita bisa melibatkan guru-guru dayah sebagai guru untuk mengajari ilmu agama dan melibatkan sarjana umum sesuai dengan bidangnya untuk mengajari ilmu umum. Setelah kita memiliki sarjana paduan ilmu umum dan agama kita bisa menerapkan pendidikan umum yang Islami.

            Akankah para pemimpin kita yang jadi pemimpin karena menjual isu akan membawa Aceh menjadi Naggroe yang Darussalam mampu mengwujudkan isu itu menjadi kenyataan dengan “menikahkan” dayah dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak yang kaya dengan iptek dam imtaq?. Semoga!!!!!

(Penulis  adalah Ketua Umum Dayah Babussalam Matangkuli, Dosen PTI. Jami’atu Tarbiyah Lhoksukon, Pengurus IPSA Aceh)

WAJIBKAH KITA BERMAZHAB?

thumbnail
Oleh: Tgk. Taufiq Yacob, S.Pd.I
Air sungai yang mengalir dari hilir ke mudik, kian jauh ia mengalir kebeningannya semakin sirna. Demikianlah keadaan sebuah agama, semakin lama kemurniannya semakin ternoda. Islam sebagai sebuah agama yang terlahir empat belas abad yang silam tentu tak luput dari keniscayaan ini. Dalam perjalanannya yang kian lama dan kian jauh ia telah terkontaminasi oleh kurafat-kurafat yang dianggap sebagai bagian dari agama, sebenarnya bukan bagian dari syari’at. Hal ini telah mengetuk hati sebagian umat yang peduli kepada agama untuk mengambalikan Islam kepada kemurniannya seperti ketika ia terlahir di tanah Arab empat belas abad yang lalu, sehingga kita sering mendengar selogan “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.”
Seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah merupakan misi suci yang mesti diamini oleh setiap umat Islam, karena keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam dan Islam tidak membenarkan hukum produk pikiran manusia dijadikan sebagai bagian dari hukum agama. Namun sungguh sayang seribu kali sayang ketika sebagian mereka yang hanyut dalam fanatic buta menjadi salah kaprah dalam mengimplementasikan ajakan mulia ini, sehingga mereka mengharamkan taqlid kepada salah satu mazhab yang empat dan menyematkan lebel tolol kepada para ahlul ilmi sekaliber Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal dan sederetan ulama besar lainnya. Memang benar kita mesti kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan semua peersoalan hukum, karena keduanya merupakan petunjuk yang lurus lagi mulia sebagaimana telah diisyarahkan oleh Rasulullah. SAW dalam sabdda beliau “kutinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian takkan tersesat untuk selamanya bila berpegang pada keduanya. Yaitu Al-Qur’an dan Hadits.” Akan tetapi memaksa orang awam (bukan mujtahid) untuk mengambil hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits tak ubahnya seperti memaksa sibayi untuk menanam padi ketika ia ingin makan nasi. Akankah kita memaksa orang awam untuk mengambil hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits?, padahal kita tahu banyak orang awam yang tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Ketika orang awam ingin melakukan wudhu’ haruskah ia membuka Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits yang sangat banyak jumlahnya untuk mengetahui cara melaksanan wudhu’?. Ketika orang awam selasai qadha hajat, haruskah mereka membuka Al-Qur’an dan memeriksa hadits untuk mencari dalil tentang hukum istinjak?, mungkin setiap orang Islam harus membuat membuat masjid masing-masing kalau mereka mengambil hukum secara langsung dar Al-Qur’an dan Hadits dengan kemampuan mereka yang sangat terbatas.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah suatu keharusan, namun caranya bebeda antara mujtahid dan orang awam. Mujtahid yang memiliki alat yang sempurna untuk menistimbat hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits wajib kembali kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dengan cara menggali langsung dari dua sumber pokok tersebut dan kepada mereka diberikan otoritas oleh syara’ untuk menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits secara shareh dengan melihat qarinah-qarinah dari nash yang disebutkan secara tersirat. Sementara orang awam yang tak mencukupi syarat untuk berijtihat mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dengan cara bertaqlid kepada para mujtahid, karena Al-qur’an meerintahkan mereka untuk bertanya kepada Ahli Az-Zikra (mujtahid). Maka hasil ijtihat para mujtahid merupakan dalil bagi mereka sebagaimana Al-Qur’an dan Hadits adalah dalil bagi mujtahid sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh As-Syathibi dalam kitab beliau Al-Muwafaqah “fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang awam bagaikan dalil sayari’at bagi para mujtahidin. Adapun alsannya ialah ada atau tidaknya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja, karena mereka sedikitpun tak mampu mengambil faedah darinya. Jadi, masalah meneliti dalil dan istinbat bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut. Dan sungguh Allah. SWT telah berfirman: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karena itu tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi, kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara’.”
Dalil-dalil Wajib Taqlid Bagi orang Awam
Sebagai dalil orang awam wajib taqlid kepada mujtahid adalah sebagai berikut:
Pertama. Firman Allah “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43). Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama ushul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mengwajibkan orang awam agar taqlid kepada mujtahid.
Kedua. Adanya ijma’ yang menunjuki bahwa para sahabat Nabi.SAW tidak sama tingkatan ilmu dan tidak semua shahabat ahli fatwa, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khaldun, dan masalah agamapun tidak diambil dari mereka semua. Diatara mereka ada yang menjadi mufti atau mujtahid, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum, tidak selalu menerangkan dalil-dalilnya kepada yang meminta fatwa.
Imam Al-Ghazali dalam kitab beliauAl-Mustashfa menjelaskan “dalil orang awab wajib taqlid adalah ijam’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam tanpa memerintahkannya untuk mencapai derajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir, baik dari kalangan ulama maupun para awam.” Imam Al-Amudi juga berkata dalam kitab Al-AIhkam Fi Usuulil Ahkam “adapun dalil taqlid dari segi Ijma’ ialah orang awam pada zaman sahabat dan tabi’in sebelum timbul golongan yang menentang selalu meminta fatwa kepada mujtahidin dan mengikuti mereka dalam urusan syari’at. Para ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan tanpa menyebutkan dalilnya dan tiada seorangpun yang ingkar. Hal ini berarti mereka telah ijma’ bahwa orang awam boleh mengikuti mujtahid secara mutlak.”
Ketiga. Adanya dalil akal yang nyata sebagai mana disebutkan oleh Syeikh Abdullah Ad-Darar “dalil taqlid dari segi akal pikiran ialah: bagi orang awam yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad, bila terjadi suatu masalah hukum ada dua kemungkinan. Pertama ia tidak terkena kewajiban melakukannya sama sekali (tidak wajib beribadah) maka hal ini menyalahi ijma’. Kedua ia terkena kewajiban melakukan ibadah. Ini berarti ia harus meneliti dalil yang menetapkan suatu hukum atau ia harus bertaqlid. Untuk yang pertama jelas tidak mungkin sebab dengan melalukan penelitian itu ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah, sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari, yaitu meninggalkan semua pekerjaan yang ada yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Itulah kewajiban dia bila menemukan masalah-masalah yang memerlukan pemecahan hukum.”
Dalil-dalil di atas menberikan kejelasan kepada kita bahwa orang awam tak mungkin melepaskan diri dari taqlid dan dengan bertaqlid kepada salah satu mujtahid artinya mereka telah melaksanakan kewajiban mereka untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, karena memang Al-Qur’an memerintahkan mereka untuk bertanya kepada mujtahid sebagai orang alim. Bahkan bila mereka mengambil hukum secra langsung dari Al-Qur’an dan Haditis, mereka telah melanggar perintah Al-Qur’an, karena mereka tak berhak untuk berijthad berijtihad, karena mereka tak memiliki alat untuk itu.
Penulis adalah Ketua Umum Dayah Babussalam Putra Matangkuli Kab. Aceh Utara, Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe