Oleh
Tgk. Taufik Yacob, S.Pd.I
Islam diturunkan
sebagai rahmat bagi sekalian alam[i].
Semua perintah dalam Islam adalah kebutuhan fitrah manusia. Semua larangan
dalam Islam berbahaya bagi manusia. Karena itu qaidah pokok dalam Islam adalah
“Dar u al-Mafasid wa jalbu al-Masalih”[ii]
(menghindari kerusakan dan mencari kemaslahatan). Qaidah fiqhiyah ini bersumber
dari hadits “tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh
memudharatkan orang lain”. Kalau demikian rasanya tidak mungkin ada manusia
yang menolak syari’at Islam, apalagi oleh masyarakat muslim. Tapi nyatanya
syari’at Islam kelihatan begitu menakutkan bagi sebagian umat. Bahkan di
Nanggroe Aceh Darussalam sendiri yang masyarakatnya seratus persen beragama
Islam, syari’at itu bak kebun tak bertuan. Penolakan ini disebabkan Syari’at
yang disodorkan kepada mereka bukan solusi tapi sangsi, sehingga Islam menjadi
beban, bukan penawar.
Ketika Rasulullah.
Saw mengutus Mus’ab bin Umair ke Madinah untuk menyampaikan Islam, penduduk
Yasrib berbondong-bondong masuk Islam karena Islam adalah solusi bagi masalah
yang mereka hadapi. Sebelum Islam datang, penduduk Yasrib dilanda permusuhan
hebat antara dua qabilah Aus dan Khazraj. Aus dan khazraj Adalah dua qabilah
Arab yang hidup di Yasrib. Pada awalnya mereka bersatu memerangi orang-orang
Yahudi yang lebih dahulu menjadi tuan di Yasrib. Setelah orang-orang Yahudi
dikalahkan mereka berkuasa di Yasrib. Orang-orang Yahudi menyimpan demdam
kepada qabilah Aus dan Khazraj. Menyadari bahwa mereka tak mampu mengalahkan
orang Aus dan Khazraj dengan pertempuran, orang Yahudi menggunakan politik
pecah belah. Usaha orang-orang Yahudi ini berhasil, sehingga di antara qabilah
Aus dan Khazraj terjadi permusuhan yang hebat[iii].
Sangat banyak korban sia-sia tanpa dosa bergelimpangan di antara mereka. Sudah banyak cara yang mereka
tempuh untuk meredam permusuhan ini, tapi selalu gagal di tengah jalan, sehingga
datanglah Islam mengajarkan “Islam bagaikan tubuh yang satu” (Hadits). Penduduk
Yasrib menerima Islam dengan suka rela karena Islam merupakan solusi untuk
masalah yang mereka hadapi. Keteika
Islam merambah ke Mesir pada masa kalifah Umar bin Khattab dengan mudah pasukan
Islam di bawah pimpinan Amru bin Ash merebut satu persatu benteng-benteng
petahanan Romawi di sana. Penduduk mesir dengan suka rela masuk Islam dan
membantu pembebasan Mesir dari cengkraman penjajahan Romawi. Rakyat Mesir
menyambut Islam dengan senang hati karena Islam yang mengajarkan “sesungguhnya
yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling kuat taqwanya”[iv]
adalah solusi bagi mereka untuk keluar dari perjajahan dan perbudakan Romawi.
Belajar dari
sejarah masa lalu itu kaum “intelek (ulama) seluku pewaris para nabi” harus
mampu memberikan solusi syari’at agar masyarakat menerima Islam dengan lapang
dada dan tangan terbuka. Para Intelaktual Islam wajib memberikan solusi syari’at
kepada umat, karena warasatu (pewaris) yang dimaksud dalam hadits adalah
penanggung jawab penyebaran agama sebagaimana para ambiya’ adalah penanggung
jawab dalam penegakan agama. Memaksakan umat untuk meninggalkan maksiat takkan
berhasil bila mereka tidak diberikan solusi agar kebutuhan mereka terpenuhi.
Jangankan manusia yang punya nafsu dan akal pikiran, air saja akan berontak
kalau terus di bendung tidak diberikan jalan keluar (dialirkan ke jalur lain).
Coba kita membuat bendungan tanpa memberi jalur alternative untuk air mengalir,
sedikit demi sedikit air akan terus mengikisnya dan akhirnya bendungan itu akan
jebol. Lain halnya kalau kita membuat bendungan lalu aliran air kita alihkan ke
jalur lain, air itu pasti akan menurut dengan patuh.
Misalnya dalam masalah bunga Bank yang haram menurut syari’at Islam
karena Bank itu menjalankan praktek riba. Selama ini kaum intelek kita hanya
mampu meberi fatwa haram untuk bunga Bank tapi tak mampu meberikan jalan keluar
bagai mana cara agar masyarakat bisa melepaskan diri dari ketergantungan kepada
Bank. Tindakan kaum intelek ini kadang menjebak mereka sendiri karena mereka tak
mungkin melepaskan diri dengan perbankkan dalam beberapa kasus, seperti ONH dan
lain-lain. Ketika umat bertanya bagaimana hukumnya menyimpan uang pada Bank
konvensional jawabannya adalah haram. Jawaban ini sangat tepat. Kemudian umat
bertanya di mana juga kita simpan biar tidak haram?. Jawabannya pasoe lam
plouk trieng (simpan dalam tabung bambu). Bagaimana mungkin uang miliyaran
rupiah di pasoe lam plouk trieng?. Agar masyarakat meninggalkan praktek
haram pada perbankkan konvensional maka kaum intelek Islam harus mampu
menciptakan sebuah lebaga keuangan yang diakui dunia internasional, memiliki jaminan keamanan
dan keuntungan seperti Bank konvensional. Andai kaum intelek kita mampu
memberikan solusi ini, tentu dengan sangat mudah mangajak masyarakat untuk
tidak menyimpan uang di Bank yang haram tapi beralih ke Bank syari’ah yang
halal dengan jaminan keamanan, kemudahan transaksi, dan keuntungan yang tidak
berbeda dengan Bank konvensional. Demikian pula dalam hal yang lain andai kaum
intelek kita mapu memberikan jalan keluar yang syar’I dari setiap masalah yang
di hadapi umat, pasti masyarakat Islam akan menerima dengan lapang dada bahkan
sangat merindukan pemberlakuan syari’at Islam. Syari’at semacam inilah yang ada
dalam benak masyarakat Aceh sebelum diberlakukan syari’at Islam di Aceh
sehingga mereka mendukung mati-matian pemberlakuan syaria’at Islam secara kaffah
(komprehensif). Setelah Syari’at Islam diberlakukan ternyata syari’at yang
dijalankan bukan solusi untuk masalah yang mereka hadapi tapi bencana terhadap
ekonomi dan kebebasan mereka. Salahkah masyarakat yang menolak syari’at?. Atau
syari’at memang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat?. Menurut penulis
kaum inteleleklah yang bersalah karena tak mampu menyodorkan Syari’at Solutif
kepada masyarakat.
Kaum intelek adalah orang-orang mulia yang dimuliakan dalam agama
sehingga mereka dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat. Kemulian itu bukanlah
hadiah Cuma-Cuma melainkan konsekwensi dari intelektualitas yang mereka miliki.
Sebagai intelektual mereka memikul tanggung jawab untuk mengaplikasikan intelektualitas
mereka dalam kehidupan nyata. Karena demikian, kata ulama yang terdapat dalam
nash untuk memuji dan memuliakan para ulama selalu dima’rifahkan dengan alif
dan lam (ال)
sehingga bermakna ulama yang mengamalkan ilmunya. Ulama yang tidak mengapliksikan
ilmunya dalam tindakan nyata justru sangat dikecam dalam Islam.
Semoga para intelek kita kedepan mampu memberikan solusi syar’iayah
terhadap semua masalah yang dihadapi masyarakat sehingga impian kita untuk pemberlakuan
syari’at Islam secara kaffah di tanah serambi makah terwujud menjadi
kenyataan dan kerinduan kita akan Baldatun Taibatun Wa Rabbul Ngafur
benar-bnar terlaksana. Amiiin Ya Rabbal Alamin.
0 komentar:
Posting Komentar