Oleh Tgk. Taufik
Yacob, S.Pd.I
Dahulu,
sebelum Aceh diobrak-abrik oleh kaum penjajah, pendidikan umum dan pendikan
agama merupakan sepasang “suami-istreri” yang hidup dalam sebuah “rumah tangga”
yang bernama dayah. Tidak ada sekolah yang hanya mengajari pendidikan umum.
Tidak ada pesantren yang hanya mengajarkan masalah ibadah. Tidak ada dikotomi
pendidikan ketika itu. Pasturi (pasangan suami isteri) ini hidup rukun dan
damai dalam kurun waktu yang relative lama, sehingga datanglah bangsa Eropa dari
kerajaan Hindia belanda merusak kehormonisan mereka. Kemesraan pasturi yang
bernama dayah ini telah mampu melahirkan banyak anak-anak yang berguna bagi
bangsa dan agama, hingga terkenal keseluruh sentaro dunia dan ditakuti oleh kaum
penjajah. Diantara tokoh-tokoh yang lahir dari pendidikan dayah adalah sultan
Iskandar Muda (sultan paling besar dalam kesultanan Aceh, memerintah 1607-1636
M) dan ratu Safiatuddin (Ratu pertama dalam kesultanan Aceh memerintah 1641-1675
M) dari
kalangan negarawan, Syiah Kuala (1615
- 1693
M) dan Abu Krueng Kale dari kalangan ilmuwan (ulama), Tgk. Chik di Tiro (1836
- 1891)
dan
Tgk. Abdul Jalil dari kalangan pahlawan (pejuang) dan Syeh Hamzah Fansuri dari
kalangan satrawan (seniman). Dayah
masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama dengan
baik. Output dayah bukan hanya ulama saja tapi juga politikus maupun
negarawan yang berpengaruh. Ini semua dikarenakan bahwa pendidikan dayah pada
masa tersebut tidak dychotomous (Yakub, 1980).
Dikotomi
pendidikan dimulai semenjak Aceh diterpa konflik dari kaum penjajah yang silih berganti
seperti dari Inggris, Portugis, Belanda, Jepang, perang Cumbok dan sebagainya
(Muhammmad Nazar, S.Ag: Serambi Indonesia, 31/5/2010). Menurut Eka Sri Mulyani
penghancuran pendidikan dayah oleh belanda merupakan taktik jahat Snouck
Hurgronje untuk memenangkan perang di Aceh “Untuk strategi memenangkan perang
dengan pihak Aceh, Snouck Hurgronje sangat menyadari bahwa materi pendidikan
dalam institusi pendidikan Islam seperti dayah menjadi ’amunisi’ tersendiri
bagi semangat jihad di Aceh. Maka strategi yang dilakukan untuk memenangkan
peperangan dengan Aceh termasuk mengintervensi dan melemahkan institusi pendidikan
Islam seperti dayah”. (http://www.lkas.org/).
Dikotomi pendidikan yang dipelopori oleh Belanda telah
merusak hubungan baik antara pendidikan
umum dan pendidikan agama. Masing-masing berjalan sendiri-sendiri di bawah
naungan yang berbeda. Pendidikan umum “hidup” di sekolah yang dikelola oleh
pemerintah. Pendidikan agama “hidup” di dayah sebagai lembaga swasta. Perpisahan
ini telah menyebabkan “kemandulan” sehingga Aceh mengalami krisis sumber daya
manusia (SDA). Dayah tanpa sekolah bagaikan lelaki tanpa istri. Sekolah tanpa
dayah laksana wanita tak bersuami. Merefleksi kehidupan masyarakat Aceh hari
ini akan menyadarkan kita ternyata tokoh-tokoh Aceh paska dikotomi pendidikan
merupakan anak di luar “nikah” antara sekolah dan dayah (bukan dalam artian
negative). Kebanyakan politikus dan akademisi Aceh adalah lulusan dayah,
minimal pernah menuntut ilmu di dayah seperti Prof. Dr. Muhibuddin Waly, Prof.
Dr. Muslem Ibrahim dan tokoh-tokoh intelektual lainnya.
Menikahkan
dayah dengan sekolah
Wacana untuk menikahkan dayah dengan
sekolah sebenarnya telah dilaksakan oleh instansi pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah
untuk mengsetarakan ijazah dayah dengan sekolah dengan berbagai program.
Diantra program dari pemerintah pusat adalah wajar dikdas yang selenggarakan di
dayah-dayah tradisional di Aceh. Dengan mengikuti program wajar dikdas ini para
santri bisa mendapatkan ijazah Ibtidaiyah dan ijazah Tsanawiyah yang diakui
oleh pemerintah dan berlaku untuk skala nasional. Sementara pemerintah daerah melasanakan
program wajib mampu membaca al-Quran sebagai syarat kelulusan sekolah dasar di
Aceh. Untuk mewujudkan rencana ini pemerintah merekrut tengku-teungku dari
dayah untuk menjadi honorer di sekolah dasar yang kusus mengajarkan bacaan
al-Quran kepada murid-murid sekolah dasar. Pemda Aceh Utara memasukkan
pelajaran Imtaq (iman dan taqwa) sebagai muatan local yang wajib dilaksanakan
oleh seluruh SMU dalam kabupaten Aceh Utara. Program Imtaq ini diasuh oleh
guru-guru yang kusus direkrut dari dayah-dayah di sekitar sekolah dengan honor
yang lumayan besar bila dibandingkan dengan honorer lainnya.
Program pemerintah itu merupakan upaya yang mulia, menunjukkan niat baik pemerintah memperbaiki pendidikan anak bangsa. Namun upaya-upaya itu tampaknya berat sebelah dan akan berakhir pada “pembunuhan” dayah oleh sekolah. Pemerintah hanya melihat kekurangan yang ada di dayah dan menutup mata terhadap kekurangan yang ada disekolah. Padahal seratus persen moral dan agama orang Aceh dibekali dari dayah. Coba kita bayangkan seandainya tidak ada dayah/balai pengajian yang mengajarkan anak-anak baca al-quran dan hukum-hukum Islam. Adakah sekolah yang hanya menjadikan pelajaran agama sebagai pelajaran skunder mampu membina moral dan keimanan siswanya?. Perhatikanlah, banyak para calon maha siswa di Aceh yang tak lulus masuk ke perguruan tinggi karena tak mampu membaca al-quran. Hal ini disampaikan oleh panitia seleksi calon mahasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe “Banyak calon mahasiswa yang sama sekali tidak mampu membaca al-Quran. Dan Ada juga calon mahasiswa ketika disuruh membaca, terus terang mengatakan bahwa ia tidak mampu. Bahkan tidak mengenal huruf Hijaiyah sama sekali” (www.jpnn.com), mereka adalah lulusan SMA yang tak pernah belajar di dayah. Lihatlah maha siswa yang hanya berlatar belakang pendidikan umum (sekolah), penguasaan ilmu agamanya sangat menyedihkan sebagaimana disampaikan M.Yusran Hadi, Lc,MA salah seorang dosen IAIN Ar-Raniry “saya sebagai dosen di perguruan tinggi IAIN Ar-Raniry, dapat mengamati ketika menemukan banyak mahasiswa yang belum bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar” (Serambi Indonesia: Opini, 22/05/2009). Bahkan seorang sarjana agama kadang kemampuan baca al-Qurannya sangat pas-pasan. Pada pemilu legeslatif DPRA 2009, sebanyak 222 caleg tersingkir dan sebagiajn memilih mundur karena tahu diri tak bisa mengaji” (Serambi Indonesia, 19/9/2008).
Sementara di dayah banyak teungku-tengku yang mahir membaca kitab kuning dan menguasai berbagi cabang ilmu syari’ah secara mendalam, namun sayang umumnya mereka buta tentang ilmu adminintrasi, gagap teknologi (gaptek) dan kurang menguasai tentang kenegaraan sehingga ilmu mereka kurang bermanfaat dalam pembuatan qanun. Sebenarnya di Aceh banyak ulama-ulama dayah yang menguasai hokum Islam, tapi “qanun syari’at kita mandek karena kita kekurangan pakar yang bisa dilibatkan dalam pembuatan qanun” (Prof Dr Alyasa’ Abubakar: Konfrensi syari’at Islam, Lhokseumawe, 2008).
Bila saja para sarjana kita menguasai ilmu agama seperti ulama-ulama dayah dan ulama dayah mengusai ilmu umum seperti para sarjana, sungguh Aceh ini benar-benar menjadi Darussalam seperti dulu ketika ia bernama Nanggroe Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Hal ini akan terjadi seandainya kita memiliki lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum yang seimbang antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Jangan ada lagi dikotomi pendidikan. Dayah dan sekolah dilebur menjadi lembaga pendidikan negeri dengan tidak membuang esensi pendidikan dari keduanya. Untuk tahap awal kita bisa melibatkan guru-guru dayah sebagai guru untuk mengajari ilmu agama dan melibatkan sarjana umum sesuai dengan bidangnya untuk mengajari ilmu umum. Setelah kita memiliki sarjana paduan ilmu umum dan agama kita bisa menerapkan pendidikan umum yang Islami.
Akankah para pemimpin kita yang jadi pemimpin karena menjual isu akan membawa Aceh menjadi Naggroe yang Darussalam mampu mengwujudkan isu itu menjadi kenyataan dengan “menikahkan” dayah dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak yang kaya dengan iptek dam imtaq?. Semoga!!!!!
(Penulis adalah Ketua Umum Dayah Babussalam
Matangkuli, Dosen PTI. Jami’atu Tarbiyah Lhoksukon, Pengurus IPSA Aceh)
0 komentar:
Posting Komentar