Home » » MENGAJAK HAM MASUK ISLAM

MENGAJAK HAM MASUK ISLAM


Oleh Tgk. Taufik Yacob, S.Pd.I
            Secara harfiyah, Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Menurut kamus online wekipedia bahasa Indonesia “Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan dan merupakan pemberian dari Tuhan.”
            Pada tanggal 10 Desember 1948 dalam Sidang Umum PBB yang diselenggarakan di Istana Chaillot Paris, mendeklerasikan piagam hak asasi manusia (human right). Mulai sa’at itu hak asasi manusia (HAM) menjadi undang-undang Internasional dan penggunaan kata HAM  lebih identik dengan makna undang-undang tersebut.
Sebenarnya jauh sebelum PBB mendeklerasikan, rumusan HAM dalam bentuk peraturan-peraturan sudah dicetus oleh berbagai ajaran di seluruh dunia. Misalnya dalam Islam “Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia. Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim)” (Mahfudz Siddiq: www. angelfire.com/id/sidikfound/ham.html).
Melihat HAM sebagai pemberian Tuhan yang dibawa manusia semenjak dalam kandungan, maka Islam tidak mungkin bertentangan dengan HAM karena keduanya sama-sama berasal dari Tuhan. Sementara bila kita melihat HAM Sebagai rumusan peranturan internasional yang di deklerasikan oleh PBB, bukan hal yang mustahil bahwa HAM itu bertentangan dengan ajaran Islam. Di sini kita sampai pada satu kesimpulan bahwa, HAM sudah ada semenjak manusia itu ada, terlepas ia dirumuskan dalam sebuah peraturan atau tidak. HAM Islam dan HAM PBB adalah rumusan peraturan tentang HAM, bukan hakikat HAM itu sendiri.
Melihat kontroversi antara Teuku Muhammad Jafar Sulaiman yang menyimpulkan, Islam tidak bertentangan dengan HAM dalam tulisan beliau yang berjudul Islam Tanpa Mazhab (Aceh Institute, 21 Juni 2010) dan Syahrial Razali yang menyimpulkan HAM bertentangan dengan Islam dalam tulisan beliau dengan judul Arabisasi, Hinduisasi Atau Westernisasi? (Aceh Institute, 29 Juni 2010), timbullah sebuah pertanyaan, apakah yang mereka maksud dengan HAM itu adalah hakikat HAM atau HAM sebagai rumusan peraturan PBB?. Bila yang dimaksud adalah hakikat HAM maka Islam tidak bertentangan dan tidak boleh bertentangan dengan HAM sebagaimana kata Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar yang dikutip oleh TMJS. Sebaliknya, bila yang dimaksud adalah HAM sebagai rumusan peraturan PBB maka HAM bertentangan dengan Islam sebagaimana kata Prof. Dr. Buya Hamka yang dikutip oleh SR.
            Hidup di Negara yang tidak menganut undang-undang syari’at Islam sebagai asas Negara membuat umat jadi bingung. Kebingungan ini disebabkan masalah-masalah syar’I yang timbul dalam kehidupan mereka tidak bisa diselesaikan secara tuntas menurut aturan Islami. Keadaan semacam ini memaksa umat Islam untuk membuat “tempelan” dari persoalan syar’I yang mereka hadapi. Tempelan-tembelan ini membuat “wajah” Islam terlihat sangat jelek, bagaikan wajah wanita cantik yang dipenuhi jerawat.
Masalah yang tidak diselesaikan secara tuntas “kesembuhannya” temporer bukan permanen. Ibarat orang demam karena bisul. Memberikan obat demam kepada orang ini takkan menyesaikan masalah sebelum bisulnya diobati secara tuntas. Misalnya, “Islam melarang wanita keluar rumah tanpa ditemani oleh mahramnya.” (HR.Bukhari). Di dalam undang-undang Indonesia tidak ada larangan wanita menjadi kepala daerah, malah Indonesia pernah diperintah oleh seorang presiden wanita yaitu ibu Mega Wati Sukarno Purtri. Ketika seorang wanita muslimah menjadi kepala pemerintahan, tidak mungkin setiap keluar rumah ditemani oleh mahramnya, karena ia terikat oleh aturan dinas Negara. Islam melarang para wanita berkumpul dengan lelaki yang bukan mahramnya. Di Indonesia ruang belajar sekolah mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi adalah berbaur antara pria dan wanita. Ketika wanita Islam mengamalkan ajaran agamanya dengan tidak keluar rumah tanpa mahram dan tidak berbaur dengan lelaki yang bukan mahramnya tampaklah seolah-olah Islam itu membelenggu hak asasi wanita. Maka solusinya di sini adalah mengajak Indonesia masuk Islam. Memaksakan hukum Islam di Negara yang tidak berundang-undang Islam dapat mecoreng wajah Islam.  Hal ini juga berlaku ketika HAM produksi barat memposisikan diri sebagai undang-undang dunia. Umat Islam juga dipaksa mengikuti aturan gila yang diciptakan mereka, menurut selera mereka. Sehingga sebahagian umat Islam menjadi salah kaprah dalam merespon isu-isu HAM yang berlawanan dengan nilai-nilai Islam. Dari sinilah muncul pemikiran nyeleneh yang disebut ide-ide sampah oleh saudara SR dan dianggap sebagai pencerahan oleh  TMJS yang mengklaim diri sebagai pemikir muda. Supaya Islam yang cantik tetap terlihat cantik maka solusinya di sini adalah mengajak HAM (peraturan PBB) masuk Islam.
            HAM sebagai rumusan peraturan PBB adalah produk manusia yang penuh dengan kekurangan, karena dibuat oleh makhluk yang memiliki kemampuan terbatas dan selalu dihiasi oleh nafsu dalam setiap tindakannya. Karena demikian mempertanyakan apakah Islam bertentangan dengan HAM (peraturan PBB) adalah pertanyaan yang terbalik. Pertanyaan ini melahirkan dua kesan buruk bagi Islam. Pertama, seolah-olah Peraturan PBB itu lebih dahulu lahir dari peraturan Islam. karena biasanya yang baru dicocokkan dengan yang lama bukan sebaliknya. Padahal peraturan  PBB itu lahir pada abad ke dua puluh. Sedangkan peraturan Islam telah lahir semenjak abad ke enam. Kedua, seolah-olah peraturan PBB adalah kebenaran mutlak yang qat’I dan tidak dapat diganggu gugat, sementara aturan Islam adalah sebuah teori yang kebenarannya perlu di uji. Karena biasanya maqis ‘alih (tempat perbandingan) adalah qat’I dan maqis (yang dibandingkan) adalah hukum baru yang harus disuaikan dengan maqis alaih. Seharusnya pertanyaannya adalah apakah HAM (peraturan PBB) bertentangan dengan Islam?.
            Pertanyaan terbalik ini telah memberi ruang kepada barat selaku perumus aturan HAM (peraturan PBB) untuk mengkritisi hukum-hukum Islam malah mengkritik al-Quran dan Hadis sebagai sumber  hukum Islam. Mereka terus berupaya agar hukum Islam tunduk kepada aturan mereka dengan memanipulasi nash-nash syar’I. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Quran menurut nafsu mereka. Tujuan mereka adalah mengajak Islam masuk HAM. Upaya-upaya mereka ini di amini oleh sarjana-sarjana Islam lulusan barat yang memang telah mereka didik untuk mendewakan barat dan otak mereka telah di“cuci” dengan doktrin barat.
            Akhirnya, mari kita menyadari sebenarnya HAM yang diatur dalam Islam itu jauh lebih agung dari HAM barat yang mereka dewa-dewakan itu. Mari kita mengembangkan ide HAM (peraturan PBB) yang konstektual, karena ia adalah hukum produk manusia yang sifatnya kondisional bukan universal. Buanglah jauh-jauh ide Islam local, Islam konstektul dan sejenisnya, karena Islam yang universal terlalu agung untuk diotak-atik oleh pikiran kita yang sangat terbatas. Mari kita berupaya untuk mengajak HAM (peraturan PBB) masuk Islam dengan cara menyesuaikanya dengan Islam.
Wallahu A’lam Bis shawab.(Penulis  adalah Ketua Umum Dayah Babussalam Matangkuli Aceh Utara, Dosen PTI. Jami’atu Tarbiyah Lhoksukon, Pengurus IPSA Aceh)
Thanks for reading MENGAJAK HAM MASUK ISLAM

« Previous
« Prev Post
Next »
Next Post »

0 komentar:

Posting Komentar