
Oleh: Tgk. Taufiq Yacob, S.Pd.I
Air sungai yang mengalir dari hilir ke mudik, kian jauh ia mengalir kebeningannya semakin sirna. Demikianlah keadaan sebuah agama, semakin lama kemurniannya semakin ternoda. Islam sebagai sebuah agama yang terlahir empat belas abad yang silam tentu tak luput dari keniscayaan ini. Dalam perjalanannya yang kian lama dan kian jauh ia telah terkontaminasi oleh kurafat-kurafat yang dianggap sebagai bagian dari agama, sebenarnya bukan bagian dari syari’at. Hal ini telah mengetuk hati sebagian umat yang peduli kepada agama untuk mengambalikan Islam kepada kemurniannya seperti ketika ia terlahir di tanah Arab empat belas abad yang lalu, sehingga kita sering mendengar selogan “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.”
Seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah merupakan misi suci yang mesti diamini oleh setiap umat Islam, karena keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam dan Islam tidak membenarkan hukum produk pikiran manusia dijadikan sebagai bagian dari hukum agama. Namun sungguh sayang seribu kali sayang ketika sebagian mereka yang hanyut dalam fanatic buta menjadi salah kaprah dalam mengimplementasikan ajakan mulia ini, sehingga mereka mengharamkan taqlid kepada salah satu mazhab yang empat dan menyematkan lebel tolol kepada para ahlul ilmi sekaliber Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal dan sederetan ulama besar lainnya. Memang benar kita mesti kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan semua peersoalan hukum, karena keduanya merupakan petunjuk yang lurus lagi mulia sebagaimana telah diisyarahkan oleh Rasulullah. SAW dalam sabdda beliau “kutinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian takkan tersesat untuk selamanya bila berpegang pada keduanya. Yaitu Al-Qur’an dan Hadits.” Akan tetapi memaksa orang awam (bukan mujtahid) untuk mengambil hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits tak ubahnya seperti memaksa sibayi untuk menanam padi ketika ia ingin makan nasi. Akankah kita memaksa orang awam untuk mengambil hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits?, padahal kita tahu banyak orang awam yang tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Ketika orang awam ingin melakukan wudhu’ haruskah ia membuka Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits yang sangat banyak jumlahnya untuk mengetahui cara melaksanan wudhu’?. Ketika orang awam selasai qadha hajat, haruskah mereka membuka Al-Qur’an dan memeriksa hadits untuk mencari dalil tentang hukum istinjak?, mungkin setiap orang Islam harus membuat membuat masjid masing-masing kalau mereka mengambil hukum secara langsung dar Al-Qur’an dan Hadits dengan kemampuan mereka yang sangat terbatas.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah suatu keharusan, namun caranya bebeda antara mujtahid dan orang awam. Mujtahid yang memiliki alat yang sempurna untuk menistimbat hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits wajib kembali kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dengan cara menggali langsung dari dua sumber pokok tersebut dan kepada mereka diberikan otoritas oleh syara’ untuk menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits secara shareh dengan melihat qarinah-qarinah dari nash yang disebutkan secara tersirat. Sementara orang awam yang tak mencukupi syarat untuk berijtihat mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dengan cara bertaqlid kepada para mujtahid, karena Al-qur’an meerintahkan mereka untuk bertanya kepada Ahli Az-Zikra (mujtahid). Maka hasil ijtihat para mujtahid merupakan dalil bagi mereka sebagaimana Al-Qur’an dan Hadits adalah dalil bagi mujtahid sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh As-Syathibi dalam kitab beliau Al-Muwafaqah “fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang awam bagaikan dalil sayari’at bagi para mujtahidin. Adapun alsannya ialah ada atau tidaknya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja, karena mereka sedikitpun tak mampu mengambil faedah darinya. Jadi, masalah meneliti dalil dan istinbat bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut. Dan sungguh Allah. SWT telah berfirman: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karena itu tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi, kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara’.”
Dalil-dalil Wajib Taqlid Bagi orang Awam
Sebagai dalil orang awam wajib taqlid kepada mujtahid adalah sebagai berikut:
Pertama. Firman Allah “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43). Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama ushul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mengwajibkan orang awam agar taqlid kepada mujtahid.
Kedua. Adanya ijma’ yang menunjuki bahwa para sahabat Nabi.SAW tidak sama tingkatan ilmu dan tidak semua shahabat ahli fatwa, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khaldun, dan masalah agamapun tidak diambil dari mereka semua. Diatara mereka ada yang menjadi mufti atau mujtahid, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum, tidak selalu menerangkan dalil-dalilnya kepada yang meminta fatwa.
Imam Al-Ghazali dalam kitab beliauAl-Mustashfa menjelaskan “dalil orang awab wajib taqlid adalah ijam’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam tanpa memerintahkannya untuk mencapai derajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir, baik dari kalangan ulama maupun para awam.” Imam Al-Amudi juga berkata dalam kitab Al-AIhkam Fi Usuulil Ahkam “adapun dalil taqlid dari segi Ijma’ ialah orang awam pada zaman sahabat dan tabi’in sebelum timbul golongan yang menentang selalu meminta fatwa kepada mujtahidin dan mengikuti mereka dalam urusan syari’at. Para ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan tanpa menyebutkan dalilnya dan tiada seorangpun yang ingkar. Hal ini berarti mereka telah ijma’ bahwa orang awam boleh mengikuti mujtahid secara mutlak.”
Ketiga. Adanya dalil akal yang nyata sebagai mana disebutkan oleh Syeikh Abdullah Ad-Darar “dalil taqlid dari segi akal pikiran ialah: bagi orang awam yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad, bila terjadi suatu masalah hukum ada dua kemungkinan. Pertama ia tidak terkena kewajiban melakukannya sama sekali (tidak wajib beribadah) maka hal ini menyalahi ijma’. Kedua ia terkena kewajiban melakukan ibadah. Ini berarti ia harus meneliti dalil yang menetapkan suatu hukum atau ia harus bertaqlid. Untuk yang pertama jelas tidak mungkin sebab dengan melalukan penelitian itu ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah, sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari, yaitu meninggalkan semua pekerjaan yang ada yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Itulah kewajiban dia bila menemukan masalah-masalah yang memerlukan pemecahan hukum.”
Dalil-dalil di atas menberikan kejelasan kepada kita bahwa orang awam tak mungkin melepaskan diri dari taqlid dan dengan bertaqlid kepada salah satu mujtahid artinya mereka telah melaksanakan kewajiban mereka untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, karena memang Al-Qur’an memerintahkan mereka untuk bertanya kepada mujtahid sebagai orang alim. Bahkan bila mereka mengambil hukum secra langsung dari Al-Qur’an dan Haditis, mereka telah melanggar perintah Al-Qur’an, karena mereka tak berhak untuk berijthad berijtihad, karena mereka tak memiliki alat untuk itu.
Penulis adalah Ketua Umum Dayah Babussalam Putra Matangkuli Kab. Aceh Utara, Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe
Air sungai yang mengalir dari hilir ke mudik, kian jauh ia mengalir kebeningannya semakin sirna. Demikianlah keadaan sebuah agama, semakin lama kemurniannya semakin ternoda. Islam sebagai sebuah agama yang terlahir empat belas abad yang silam tentu tak luput dari keniscayaan ini. Dalam perjalanannya yang kian lama dan kian jauh ia telah terkontaminasi oleh kurafat-kurafat yang dianggap sebagai bagian dari agama, sebenarnya bukan bagian dari syari’at. Hal ini telah mengetuk hati sebagian umat yang peduli kepada agama untuk mengambalikan Islam kepada kemurniannya seperti ketika ia terlahir di tanah Arab empat belas abad yang lalu, sehingga kita sering mendengar selogan “kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.”
Seruan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah merupakan misi suci yang mesti diamini oleh setiap umat Islam, karena keduanya merupakan sumber pokok ajaran Islam dan Islam tidak membenarkan hukum produk pikiran manusia dijadikan sebagai bagian dari hukum agama. Namun sungguh sayang seribu kali sayang ketika sebagian mereka yang hanyut dalam fanatic buta menjadi salah kaprah dalam mengimplementasikan ajakan mulia ini, sehingga mereka mengharamkan taqlid kepada salah satu mazhab yang empat dan menyematkan lebel tolol kepada para ahlul ilmi sekaliber Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal dan sederetan ulama besar lainnya. Memang benar kita mesti kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan semua peersoalan hukum, karena keduanya merupakan petunjuk yang lurus lagi mulia sebagaimana telah diisyarahkan oleh Rasulullah. SAW dalam sabdda beliau “kutinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian takkan tersesat untuk selamanya bila berpegang pada keduanya. Yaitu Al-Qur’an dan Hadits.” Akan tetapi memaksa orang awam (bukan mujtahid) untuk mengambil hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits tak ubahnya seperti memaksa sibayi untuk menanam padi ketika ia ingin makan nasi. Akankah kita memaksa orang awam untuk mengambil hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits?, padahal kita tahu banyak orang awam yang tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan benar. Ketika orang awam ingin melakukan wudhu’ haruskah ia membuka Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits yang sangat banyak jumlahnya untuk mengetahui cara melaksanan wudhu’?. Ketika orang awam selasai qadha hajat, haruskah mereka membuka Al-Qur’an dan memeriksa hadits untuk mencari dalil tentang hukum istinjak?, mungkin setiap orang Islam harus membuat membuat masjid masing-masing kalau mereka mengambil hukum secara langsung dar Al-Qur’an dan Hadits dengan kemampuan mereka yang sangat terbatas.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah suatu keharusan, namun caranya bebeda antara mujtahid dan orang awam. Mujtahid yang memiliki alat yang sempurna untuk menistimbat hukum secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadits wajib kembali kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dengan cara menggali langsung dari dua sumber pokok tersebut dan kepada mereka diberikan otoritas oleh syara’ untuk menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Hadits secara shareh dengan melihat qarinah-qarinah dari nash yang disebutkan secara tersirat. Sementara orang awam yang tak mencukupi syarat untuk berijtihat mereka kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dengan cara bertaqlid kepada para mujtahid, karena Al-qur’an meerintahkan mereka untuk bertanya kepada Ahli Az-Zikra (mujtahid). Maka hasil ijtihat para mujtahid merupakan dalil bagi mereka sebagaimana Al-Qur’an dan Hadits adalah dalil bagi mujtahid sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh As-Syathibi dalam kitab beliau Al-Muwafaqah “fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang awam bagaikan dalil sayari’at bagi para mujtahidin. Adapun alsannya ialah ada atau tidaknya dalil bagi orang yang taqlid (muqallid) adalah sama saja, karena mereka sedikitpun tak mampu mengambil faedah darinya. Jadi, masalah meneliti dalil dan istinbat bukanlah urusan mereka dan mereka tidak diperkenankan melakukan hal tersebut. Dan sungguh Allah. SWT telah berfirman: “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karena itu tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi, kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara’.”
Dalil-dalil Wajib Taqlid Bagi orang Awam
Sebagai dalil orang awam wajib taqlid kepada mujtahid adalah sebagai berikut:
Pertama. Firman Allah “maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nahl:43). Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengerti hukum dan dalil agar mengikuti orang yang memahaminya. Seluruh ulama ushul telah menetapkan ayat ini sebagai dasar pertama untuk mengwajibkan orang awam agar taqlid kepada mujtahid.
Kedua. Adanya ijma’ yang menunjuki bahwa para sahabat Nabi.SAW tidak sama tingkatan ilmu dan tidak semua shahabat ahli fatwa, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khaldun, dan masalah agamapun tidak diambil dari mereka semua. Diatara mereka ada yang menjadi mufti atau mujtahid, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan ada pula yang meminta fatwa dan menjadi muqallid yang jumlahnya sangat banyak. Para sahabat yang menjadi mufti (mujtahid) dalam menerangkan hukum, tidak selalu menerangkan dalil-dalilnya kepada yang meminta fatwa.
Imam Al-Ghazali dalam kitab beliauAl-Mustashfa menjelaskan “dalil orang awab wajib taqlid adalah ijam’ shahabat. Mereka memberikan fatwa kepada orang awam tanpa memerintahkannya untuk mencapai derajat ijtihad. Hal ini dapat diketahui dengan pasti dan dengan cara mutawatir, baik dari kalangan ulama maupun para awam.” Imam Al-Amudi juga berkata dalam kitab Al-AIhkam Fi Usuulil Ahkam “adapun dalil taqlid dari segi Ijma’ ialah orang awam pada zaman sahabat dan tabi’in sebelum timbul golongan yang menentang selalu meminta fatwa kepada mujtahidin dan mengikuti mereka dalam urusan syari’at. Para ulama dari kalangan mereka dengan cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan tanpa menyebutkan dalilnya dan tiada seorangpun yang ingkar. Hal ini berarti mereka telah ijma’ bahwa orang awam boleh mengikuti mujtahid secara mutlak.”
Ketiga. Adanya dalil akal yang nyata sebagai mana disebutkan oleh Syeikh Abdullah Ad-Darar “dalil taqlid dari segi akal pikiran ialah: bagi orang awam yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad, bila terjadi suatu masalah hukum ada dua kemungkinan. Pertama ia tidak terkena kewajiban melakukannya sama sekali (tidak wajib beribadah) maka hal ini menyalahi ijma’. Kedua ia terkena kewajiban melakukan ibadah. Ini berarti ia harus meneliti dalil yang menetapkan suatu hukum atau ia harus bertaqlid. Untuk yang pertama jelas tidak mungkin sebab dengan melalukan penelitian itu ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah, sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari, yaitu meninggalkan semua pekerjaan yang ada yang akhirnya akan menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Itulah kewajiban dia bila menemukan masalah-masalah yang memerlukan pemecahan hukum.”
Dalil-dalil di atas menberikan kejelasan kepada kita bahwa orang awam tak mungkin melepaskan diri dari taqlid dan dengan bertaqlid kepada salah satu mujtahid artinya mereka telah melaksanakan kewajiban mereka untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, karena memang Al-Qur’an memerintahkan mereka untuk bertanya kepada mujtahid sebagai orang alim. Bahkan bila mereka mengambil hukum secra langsung dari Al-Qur’an dan Haditis, mereka telah melanggar perintah Al-Qur’an, karena mereka tak berhak untuk berijthad berijtihad, karena mereka tak memiliki alat untuk itu.
Penulis adalah Ketua Umum Dayah Babussalam Putra Matangkuli Kab. Aceh Utara, Alumnus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe